1. Asal-usul
Peralatan musik tradisional rapai merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh, baik secara filosofis maupun
kultural. Pertunjukan musik rapai
melibatkan 8 hingga 12 pemain yang disebut awak rapai. Peralatan ini berfungsi untuk mengatur tempo serta
tingkahan-tingkahan irama bersama serune
kalee maupun buloh perindu
(Z. H. Idris et al, 1993: 79).
Menurut Z. H. Idris, et al (1993:
79), peralatan rapai berasal
dari Baghdad (Irak), dibawa oleh seorang penyiar agama Islam bernama Syeh Rapi.
Sedangkan jika dilihat dari syair yang selalu dinyanyikan dalam rapai, peralatan musik tersebut
asalnya dari Syeh Abdul Kadir. Berikut syair yang dilantunkan pada pertunjukan rapai yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia:
Di langit
tinggi bintang bersinar
Cahaya bak lilin memancar ke bumi
Asal rapai dari Syeh Abdul Kadir
Inilah yang sah penciptanya lahir ke bumi.
Cahaya bak lilin memancar ke bumi
Asal rapai dari Syeh Abdul Kadir
Inilah yang sah penciptanya lahir ke bumi.
Berdasarkan besar rapai dan suaranya, rapai terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
A.Rapai
Geleng
B.Rapai Geurimpheng
B.Rapai Geurimpheng
Selain pertunjukan yang digelar
dalam acara-acara tertentu, rapai
kadang kala juga dilombakan di kalangan antarkelompok pemain rapai. Kriteria penilai perlombaan
itu adalah bunyi, irama pukul rapai,
tingkahan, dan membalas jawaban pantun lawan. Lomba dimulai malam hari hingga
pagi esoknya. Pada perlombaan tersebut para pemain mengenakan pakaian adat
Aceh.
2. Fungsi Rapai dalam Masyarakat Aceh
Terdapat kedekatan tertentu
peralatan musik ini di hati masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh menggunakan
peralatan dan menyelenggarakan pertunjukan musik rapai dalam berbagai kesempatan, misalnya pasar malam, upacara
perkawinan, ulang tahun, mengiringi tarian, memperingati hari-hari tertentu,
dan sebagainya. Selain dimainkan secara tunggal, rapai dapat pula digabungkan dengan alat musik yang lain,
semisal Sarune Kalee atau buloh perindu. Rapai dapat mendukung melodi buloh perindu, peralatan tiup yang
mempunyai nada diatonis.
Masyarakat Aceh juga menggunakan rapai untuk mengiringi pertunjukan
debus (daboih). Menurut Z. H.
Idris, et al (1993: 82) Daboih
adalah sejenis senjata yang terbuat dari besi runcing di ujungnya dan berhulu
bundar. Senjata ini sebesar telunjuk dan mempunyai panjang kira-kira setengah
jengkal. Permainan tersebut dipimpin oleh seorang khalifah yang memiliki ilmu
kebal sehingga badannya tidak terluka oleh tusukan benda tajam, dapat
melilitkan rantai panas ke bagian tubuhnya, menari dalam api, dan sebagainya.
Rapai yang digunakan sebagai pengiring
pertunjukan daboih adalah Rapai Daboih.
Dalam pertunjukan Rapai Daboih ini, pada saat saleum (salam) pemain rapai memukul alat musiknya dengan
tempo lambat sebagai pengiring kisah atau syair yang dilantunkan penabuh dabus.
Kemudian tempo berubah sedang pada waktu mengiringi syair wanole. Ketika dilantunkan syair Amanah Guru tempo iringan rapai berubah menjadi agak cepat. Dan
menjadi cepat ketika mengiringi Syair Nyo
He Rakan.
Pertunjukan Rapai Pase yang terdapat di Aceh Utara melibatkan 30 buah rapai beserta pemainnya. Ini adalah
formasi yang paling besar dalam pertunjukan Rapai Pase. Untuk formasi sedang terdiri dari 15 orang dan
formasi kecil antara 10 hingga 12 buah rapai
beserta pemainnya. Di antara rapai
yang berukuran kecil terdapat sebuah rapai
berukuran besar yang digantung. Pertunjukan tersebut membawakan lagu-lagu berbau
keagamaan, upacara gembira, sunat Rasul, nasihat, maulid, dan upacara lain
selain Islam.
Pertunjukan Rapai Pulot diawali dengan lagu-lagu sebagai salam perkenalan
yang dilanjutkan dengan permainan akrobatik. Permainan rapai ini juga digunakan untuk mengiringi ratoih (lagu). Pertunjukan Rapai Kisah digelar dengan
mengisahkan atau menyanyikan lagu sesuai permintaan yang punya rumah. Seorang
syeh rapai memimpin pertunjukan
dan bersama-sama dengan pemain yang lain melagukan syair-syair kisah tersebut
yang diikuti irama tingkahan rapai.
3. Bentuk Rapai
Rapai berbentuk seperti tempayan atau
panci dengan berbagai macam ukuran. Di bagian atas rapai ditutup dengan kulit, sedangkan bagian bawahnya
kosong. Bagian bawah yang kosong tersebut membuat kulit akan berbunyi dan
berdengung jika dipukul. Pada bagian buloh
diukir dengan ragam hias yang sederhana, yaitu berupa ukiran-ukiran strimline
lurus sepanjang bundaran buloh.
Ukuran lingkar luar buloh
antara 38 hingga 50 cm, sedangkan tinggi paloh
(dinding frame) kurang lebih 8-12 cm, lebar paloh jika dilihat dari posisi belakang adalah 4-6 cm, dan untuk
ukuran induk Rapai Pase garis tengah bulatan adalah 1
meter atau lebih.
Sebuah rapai terdapat beberapa bagian, yaitu:
- Bolah atau paloh.
- Selaput
atau membran yang terbuat dari kulit kambing. Untuk rapai berukuran besar, membran
terbuat dari kulit sapi yang telah diolah dan ditipiskan.
- Rotan
untuk mengencangkan atau meninggikan suara.
- Lempengan
logam pada bagian pinggir paloh
yang menciptakan suara gemerincing.
4. Pembuatan Rapai
Bahan untuk membuat rapai adalah gelondongan kayu
berukuran besar. Hal tersebut menyebabkan para pembuat rapai saat ini kekurangan bahan untuk membuat peralatan ini.
Untuk membuat peralatan ini dibutuhkan kayu nangka, merbau, medang-ara yang
berumur ratusan tahun. Kayu untuk membuat rapai direndam terlebih dahulu hingga beberapa bulan agar kayu
tersebut lebih awet. Baru kemudian mengorek bagian dalamnya dan hanya
menyisakan bagian pinggir saja. Hasilnya adalah sebuah lobang bundar besar yang
menggeronggong.
Pinggiran yang menjadi sisa korekan
tadi merupakan kelawang atau body
yang perlu dihaluskan dan diukir dengan pahatan berupa tekuk-tekuk garis lurus.
Di tengah pinggiran frame dipahat dan diberi lubang memanjang kurang lebih 6 cm
dan 2 cm untuk menempatkan lempeng tembaga dengan lebar 1 cm. Di bagian atasnya
diberi kulit kambing yang telah disamak sedemikian rupa sehingga tipis dan
halus kemudian dijepit.
Menurut Z. H. Idris, et al (1993:
81), peralatan musik rapai yang
ada sekarang merupakan warisan nenek moyang yang mungkin telah berumur puluhan
bahkan ratusan tahun. Mengingat bahan untuk membuat rapai yang sulit didapatkan untuk saat ini. Rapai merupakan peralatan musik
tradisional yang mengandung nilai artistik yang tinggi. Jenis kayu yang
digunakan juga jenis kayu pilihan, sehingga peralatan tersebut kukuh dan jarang
retak atau pecah.
5. Cara Memainkan Rapai
Rapai biasanya dimainkan oleh beberapa
orang secara serempak. Para pemain rapai
duduk berbanjar membentuk lingkaran sambil memukul peralatan tersebut. Tangan
kiri memagang paloh atau palong (body) rapai,
sedangkan tangan kanan memukul kulit rapai.
Peralatan musik ini akan menghasilkan suara dengungan atau gema yang besar bila
dipukul di tengah-tengah membran. Rapai
akan menghasilkan suara yang tajam dan nyaring kalau dipukul pada bagian
pinggir membran (Z. H. Idris, et al. 1993: 83).
Sebuah formasi pemain rapai dipimpin oleh seorang syeh yang
dibantu oleh beberapa pemukul yang lain. Beberapa buah rapai akan dipukul dengan tempo rata untuk membentuk kekompakan
suatu irama lagu. Beberapa yang lain akan dipukul dengan tingkahan-tingkahan
dan suara dinamik. Suara “cring” dari lempengan tembaga muncul di sela-sela
permainan itu secara satu-satu atau beruntun. Kadang-kadang dibarengi dengan
suara chorus secara ensambel
atau sahut-sahutan ulangan yang gegap gempita. Hal tersebut memberikan kesan
meriah pada suatu pertunjukan yang diadakan.
Permainan rapai dalam sebuah pertunjukan biasanya diawali dengan tempo
lambat (andante) yang
dilanjutkan dengan tempo sedang (moderate),
kemudian cepat (allegro), dan
lebih cepat lagi (allegretto)
sebagai klimaksnya. Pada waktu memainkan musiknya, kadang para pemain musik
ikut bergerak mengikuti alunan musik, kadang kepala terangguk-angguk menurut
irama yang dimainkan saat itu. Para pemain itu masih dalam keadaan duduk dengan
rapai tetap dalam keadaan tegak
di atas ujung kaki.
6. Nilai-nilai
Rapai bukan sekadar alat musik yang dapat
dinikmati pada waktu pertunjukan, tapi rapai
juga mengandung nilai-nilai tertentu sebagaimana berikut.
a. Nilai Tradisi
Pertunjukan rapai merupakan warisan tradisi yang perlu dilestarikan.
Pertunjukan rapai masih digelar
hingga saat ini dalam berbagai acara. Baik acara yang bersifat seremonial
maupun acara yang bersifat perayaan. Hal tersebut menjadi bukti bahwa
masyarakat Aceh, di tengah perkembangan ke arah modenitas, masih tetap berusaha
untuk mempertahankan tradisi mereka.
b. Nilai Budaya
Masyarakat Aceh mempunyai kekayaan
kebudayaan yang beragam. Mulai dari sastra hingga seni musik. Rapai merupakan salah satu kebudayaan
yang dilestarikan oleh masyarakat Aceh hingga kini. Pertunjukan rapai menjadi salah satu daya tarik
bagi masyarakat luar Aceh.
c. Nilai Kekompakan
Memainkan musik rapai selalu menuntut kekompakan. Hal
tersebut secara tidak langsung berpengaruh pada karakter para pemain di mana
mereka akan mempunyai keterikatan yang kuat satu sama lain. Secara luas hal
kekompakan yang muncul dalam permainan musik rapai diharapkan mempengaruhi masyarakat. Sehingga dengan musik rapai, terbentuk solidaritas di dalam
masyarakat.
d. Nilai Keindahan
Permainan rapai, baik sebagai musik pertunjukan maupun sebagai musik
pengiring, selalu menyimpan keindahannya sebagai sebuah karya seni. Keindahan
ini menjadikan pertunjukan rapai
sebagai media refreshing atau
hiburan bagi masyarakat. Tentunya hiburan dalam rapai dimaknai bukan sekadar hura-hura atau perayaan belaka,
namun juga bentuk penyadaran kepada masyarakat bahwa kesenian tradisional juga
dapat dijadikan media untuk “bersenang-senang” dalam arti yang luas.
7. Penutup
Rapai merupakan permainan musik yang
masih identik dengan masyarakat Aceh hingga kini. Sejak dimainkan pertama kali
dimainkan sekitar tahun 900 masehi di Bandar Khalifak, Kecamatan Mesjid Raya,
Kabupaten Aceh Besar, rapai
terus mengalami perkembangan. Masyarakat Aceh yang memainkan rapai juga semakin luas, bukan hanya
di wilayah Aceh Besar saja. Hingga kini, rapai
masih menjadi peralatan dan permainan musik tradisional yang menjadi simbol
kebudayaan Aceh.
Post a Comment